Substitusi
Nukleofilik Suatu nukleofil (Z:) menyerang alkil halida pada atom karbon
hibrida-sp3 yang mengikat halogen (X), menyebabkan terusirnya
halogen oleh nukleofil. Halogen yang terusir disebut gugus pergi. Nukleofil
harus mengandung pasangan elektron bebas yang digunakan untuk membentuk ikatan
baru dengan karbon. Hal ini memungkinkan gugus pergi terlepas dengan membawa
pasangan elektron yang tadinya sebagai elektron ikatan. Ada dua persamaan umum
yang dapat dituliskan :
Contoh
masing-masing reaksi adalah :
Mekanisme Substitusi
Nukleofilik
Mekanisme Substitusi Nukleofilik
Pada dasarnya terdapat dua mekanisme reaksi substitusi nukleofilik. Mereka
dilambangkan dengan SN2 adan SN1.
Bagian SN menunjukkan substitusi nukleofilik, sedangkan arti 1 dan 2
akan dijelaskan kemudian.
Mekanisme SN2
Mekanisme
SN2 adalah proses satu tahap yang dapat digambarkan
sebagai
berikut
:
Nukleofil menyerang dari belakang
ikatan C-X. Pada keadaan transisi, nukleofil dan gugus pergi berasosiasi dengan
karbon di mana substitusi akan terjadi. Pada saat gugus pergi terlepas dengan
membawa pasangan elektron, nukleofil memberikan pasangan elektronnya untuk
dijadikan pasangan elektron dengan karbon.
Notasi 2 menyatakan bahwa reaksi
adalah bimolekuler, yaitu nukleofil dan substrat terlibat dalam langkah penentu
kecepatan reaksi dalam mekanisme reaksi. Adapun ciri reaksi SN2
adalah :
1. Karena
nukleofil dan substrat terlibat dalam langkah penentu kecepatan reaksi, maka
kecepatan reaksi tergantung pada konsentrasi kedua spesies tersebut.
2. Reaksi
terjadi dengan pembalikan (inversi) konfigurasi. Misalnya jika kita mereaksikan
(R)-2-bromobutana dengan natrium hidroksida, akan diperoleh (S)2-butanol.
Ion hidroksida menyerang dari
belakang ikatan C-Br. Pada saat substitusi terjadi, ketiga gugus yang terikat
pada karbon sp3 kiral itu seolah-olah
terdorong oleh suatu bidang datar sehingga membalik. Karena dalam molekul ini
OH mempunyai perioritas yang sama dengan Br, tentu hasilnya adalah
(S)-2-butanol. Jadi reaksi SN2 memberikan hasil inversi.
3. Jika
substrat R-L bereaksi melalui mekanisme SN2, reaksi terjadi lebih
cepat apabila R merupakan gugus metil atau primer, dan lambat jika R adalah
gugus tersier. Gugus R sekunder mempunyai kecepatan pertengahan. Alasan untuk
urutan ini adalah adanya efek rintangan sterik. Rintangan sterik gugus R
meningkat dari metil < primer < sekunder < tersier. Jadi kecenderungan
reaksi SN2 terjadi pada alkil halida adalah : metil >
primer > sekunder >> tersier.
Mekanisme SN1
Mekanisme
SN1 dalah proses dua tahap. Pada tahap pertama, ikatan
antara karbon dengan gugus pergi
putus.
Gugus pergi
terlepas dengan membawa pasangan elektron, dan terbentuklah ion karbonium. Pada
tahap kedua (tahap cepat), ion karbonium bergabung dengan nukleofil membentuk
produk.
Pada mekanisme SN1,
substitusi terjadi dalam dua tahap. Notasi 1 digunakan sebab pada tahap lambat
hanya satu dari dua pereaksi yang terlibat, yaitu substrat. Tahap ini sama
sekali tidak melibatkan nukleofil.
Berikut
ini adalah ciri-ciri suatu reaksi yang berjalan melalui mekanisme SN1:
1. Kecapatan
reaksinya tidak tergantung pada konsentrasi nukleofil. Tahap penentu kecepatan
reaksi adalah tahap pertama di mana nukleofil tidak terlibat.
2. Jika
karbon pembawa gugus pergi adalah bersifat kiral, reaksi menyebabkan hilangnya
aktivitas optik karena terjadi rasemik. Pada ion karbonium, hanya ada tiga gugus
yang terikat pada karbon positif. Karena itu, karbon positif mempunyai
hibridisasi sp2 dan berbentuk planar.
Jadi nukleofil mempunyai dua arah penyerangan, yaitu dari depan dan dari
belakang. Dan kesempatan ini masing-masing mempunyai peluang 50 %. Jadi
hasilnya adalah rasemit. Misalnya, reaksi (S)-3-bromo-3-metilheksana
dengan air menghasilkan alkohol rasemik.
Spesies
antaranya (intermediate species)
adalah ion karbonium dengan geometrik planar sehingga air mempunyai peluang
menyerang dari dua sisi (depan dan belakang) dengan peluang yang sama
menghasilkan adalah campuran rasemik.
Reaksi
substrat R-X yang melalui mekanisme SN1 akan berlangsung
cepat jika R merupakan struktur tersier, dan lambat jika R adalah struktur
primer. Hal ini sesuai dengan urutan
kestabilan ion karbonium, 3o > 2o >> 1o.
Perbandingan Mekanisme
SN1 dan SN2
Tabel 6.2 berikut memuat ringkasan
mengenai mekanisme substitusi dan mebandingkannya dengan keadaan-keadaan lain,
seperti keadan pelarut dan struktur nukleofil.
Perlu diperhatikan bahwa halida
primer selalu bereaksi melalui mekanisme SN2, sedangkan
halida tersier melalui mekanisme SN1. Pada halida
sekunder, terdapat dua kemungkinan.
Pada
tahap pertama dalam mekanisme SN1 adalah tahap pembentukan ion, sehingga
mekanisme ini dapat berlangsung lebih baik dalam pelarut polar. Jadi halida
sekunder yang dapat bereaksi melalui kedua mekanisme tersebut, kita dapat
mengubah mekanismenya dengan menyesuaikan kepolaran pelarutnya. Misalnya,
mekanisme reaksi halida sekunder dengan air (membentuk alkohol) dapat diubah
dari SN2 menjadi SN1 dengan
mengubah pelarutnya dari 95% aseton-5% air (relatif tidak-polar) menjadi 50%
aseton-50% air (lebih polar, dan pelarut peng-ion yang lebih baik).
Kekuatan nukleofil juga dapat
mengubah mekanisme reaksi yang dilalui oleh reaksi oleh reaksi SN.
Jika nukleofilnya kuat maka mekanisme SN2 yang terjadi.
Berikut ini ada beberapa petunjuk yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu
nukleofil adalah kuat atau lemah.
1. Ion
nukleofil bersifat nukleofil. Anion adalah pemberi elektron yang lebih baik
daripada molekul netralnya. Jadi
1. Unsur
yang berada pada periode bawah dalam tabel periodik cenderung merupakan
nukleofil yang lebih kuat daripada unsur yang berada dalam periode di atasnya
yang segolongan. Jadi
2. Pada
periode yang sama, unsur yang lebih elektronegatif cenderung merupakan
nukleofil lebih lemah (karena ia lebih kuat memegang elektron). Jadi
Karena
C dan N berada dalam periode yang sama, tidak mengherankan jika pada ion -:CN:
, yang bereaksi adalah karbon, karena sifat nukleofilnya lebih kuat.












Tidak ada komentar:
Posting Komentar